ketegori
Muslim. Apabila di tempat kerja tidak ada tempat yang bersih/suci untuk
shalat apakah boleh shalatnya dijama meskipun menjadi kebiasaan rutin?
Apabila kita pergi ke luar daerah tempat kita tinggal meskipun dekat
tapi kita belum pernah ke tempat itu apakah disebut safar dan bagaimana
shalatnya? Apabila karena lupa atau ketiduran sehingga tdk melaksanakan
shalat, apakah shalat bisa dijama?
Muhammad Al-fatih
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh,Alhamdulillah wash-shalatu wassalamu ‘ala rsulillah, wa ba’du
Menjama’
shalat itu pada hakikatnya meninggalkan shalat atau tidak mengerjakan
shalat pada waktunya. Padahal shalat itu wajib dilkerjakan pada
waktunya. Kalau sampai seseorang mengubah waktu shalat, harus ada dalil
yang sangat kuat yang membolehkan hal itu.
Dan dalam pandangan
syariat, pengubahan waktu shalat secara sengaja hingga dikerjakan bukan
di dalam waktunya hanya bisa dilakukan dalam bentuk shalat jama’. Namun
shalat jama’ itu tidak boleh begitu saja dilakukan kecuali oleh sebab
yang juga dilandasi dengan dalil yang syar’i.
Hal-hal yang membolehkan jama’ shalat itu sangat terbatas sekali, diantaranya adalah
1. Safar yang Panjang dan Memenuhi Jarak Minimal
Safar
bisa membolehkan shalat jama’, namun hanya yang panjang dan memenuhi
jarak minimal, yaitu 4 burd . Sebagian ulama berbeda dalam menentukan
jarak minimal. Perjalanan itu harus perjalanan ke luar dari kota tempat
tinggalnya dengan niat sengaja untuk mengadakan perjalanan. Juga bukan
perjalanan maksiat.
2. Sakit
Selain itu yang membolehkan
seseorang menjama’ adalah karena sakit. Imam Ahmad bin Hanbal
membolehkan jama` karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan
sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah. Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya
Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal
yang membolehkan jama` shalat. Pendapat ini antara lain dikemukakan
oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga
Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari
kalangan Asy-Syafi`iyyah.
3. Haji
Para jamaah haji
disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar
ketika berada di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut
ini :
Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. .
4. Hujan
Dari
Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau
delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata, ”Barangkali
pada malam turun hujan ?” Jabir berkata, ”Mungkin”.
.
.
Dari
Nafi` maula Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro
menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama`
bersama mereka.”
.
.
Hal seperti juga dilakukan oleh para
salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah
bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di
masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3
halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari
Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan
Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
.
.
5. Keperluan Darurat yang Mendesak
Bila
seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif
lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu
tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas. Dalil yang
digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan diatas. Allah
SWT berfirman :
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan.”
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau SAW tidak ingin memberatkan ummatnya.”
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau SAW tidak ingin memberatkan ummatnya.”
Dari
Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW pernah menjama` zhuhur, Ashar,
Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun
hujan.”
.
.
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab
Asy-Syafi`iyyah dalam Syarah An-Nawawi jilid 5 219 menyebutkan,
”Sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat mukim karena
keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan.
Meninggalkan Shalat karena Ketiduran
Sedangkan
bila ketiduran dan tidak sempat shalat, harus langsung dikerjakan
begitu terbangun. Namun istilah yang digunakan bukan menjama’ shalat.
Sebab yang namanya menjama’ shalat itu terbatas pada shalat Zhuhur
dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan ‘Isya saja. Tidak ada istilah
jama’ dalam shalat Shubuh. Yang ada hanyalah segera mengerjakan begitu
terbangun, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ
نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إلَّا
ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik ra. bahwa
Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang ketiduran atau lupa
melaksanakannya, maka ia hendaklah menunaikannya pada saat ia
menyadarinya.”
Oleh karena itu, orang-orang yang kesiangan wajib
menunaikan sholat shubuh tersebut pada saat ia tersadar atau terbangun
dari tidurnya , walaupun waktu tersebut termasuk waktu-waktu yang
terlarang melaksanakan sholat.
Karena pelarangan sholat pada
waktu-waktu tersebut berlaku bagi sholat-sholat sunnah muthlak yang
tidak ada sebabnya. Sedangkan bagi sholat yang memiliki sebab seperti
halnya orang yang ketiduran atau kelupaan, diperbolehkan melaksanakan
sholat tersebut pada waktu-waktu terlarang. Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbit maka dia telah mendapatkan sholat tersebut .
Wallahu a’lam bish-shawabWassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc