ukhuwah

Wahai wanita apabila kamu berteman dengan lelaki, ingatlah ada dua pilihan terbentang

PERTAMA, kamu jadi seperti KELAPA, mudah diperoleh, diparut, diperah, diambil santannya, seteah itu ampasnya dibuang...
KEDUA, kamu menjadi sebutir MUTIARA, berada di dasar lautan, tersimpan rapi, dilindungi kulit, bukan senang ingin dilihat, apa lagi mendapatkannya, hanya orang yang beruntung dapat memperolehnya dengan ikatan yang halal...
(Annisa Mutiara Hati)

Selasa, 20 November 2012

“Hukum Menjama` Shalat”

 ketegori Muslim. Apabila di tempat kerja tidak ada tempat yang bersih/suci untuk shalat apakah boleh shalatnya dijama meskipun menjadi kebiasaan rutin? Apabila kita pergi ke luar daerah tempat kita tinggal meskipun dekat tapi kita belum pernah ke tempat itu apakah disebut safar dan bagaimana shalatnya? Apabila karena lupa atau ketiduran sehingga tdk melaksanakan shalat, apakah shalat bisa dijama?
Muhammad Al-fatih
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh,Alhamdulillah wash-shalatu wassalamu ‘ala rsulillah, wa ba’du
Menjama’ shalat itu pada hakikatnya meninggalkan shalat atau tidak mengerjakan shalat pada waktunya. Padahal shalat itu wajib dilkerjakan pada waktunya. Kalau sampai seseorang mengubah waktu shalat, harus ada dalil yang sangat kuat yang membolehkan hal itu.
Dan dalam pandangan syariat, pengubahan waktu shalat secara sengaja hingga dikerjakan bukan di dalam waktunya hanya bisa dilakukan dalam bentuk shalat jama’. Namun shalat jama’ itu tidak boleh begitu saja dilakukan kecuali oleh sebab yang juga dilandasi dengan dalil yang syar’i.
Hal-hal yang membolehkan jama’ shalat itu sangat terbatas sekali, diantaranya adalah
1. Safar yang Panjang dan Memenuhi Jarak Minimal
Safar bisa membolehkan shalat jama’, namun hanya yang panjang dan memenuhi jarak minimal, yaitu 4 burd . Sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal. Perjalanan itu harus perjalanan ke luar dari kota tempat tinggalnya dengan niat sengaja untuk mengadakan perjalanan. Juga bukan perjalanan maksiat.
2. Sakit
Selain itu yang membolehkan seseorang menjama’ adalah karena sakit. Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan jama` karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah. Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama` shalat. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi`iyyah.
3. Haji
Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berada di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut ini :
Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. .
4. Hujan
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata, ”Barangkali pada malam turun hujan ?” Jabir berkata, ”Mungkin”.
.
Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka.”
.
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
.
5. Keperluan Darurat yang Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas. Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan diatas. Allah SWT berfirman :
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan.”
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau SAW tidak ingin memberatkan ummatnya.”
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW pernah menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
.
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah dalam Syarah An-Nawawi jilid 5 219 menyebutkan, ”Sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat mukim karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan.
Meninggalkan Shalat karena Ketiduran
Sedangkan bila ketiduran dan tidak sempat shalat, harus langsung dikerjakan begitu terbangun. Namun istilah yang digunakan bukan menjama’ shalat. Sebab yang namanya menjama’ shalat itu terbatas pada shalat Zhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan ‘Isya saja. Tidak ada istilah jama’ dalam shalat Shubuh. Yang ada hanyalah segera mengerjakan begitu terbangun, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إلَّا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang ketiduran atau lupa melaksanakannya, maka ia hendaklah menunaikannya pada saat ia menyadarinya.”
Oleh karena itu, orang-orang yang kesiangan wajib menunaikan sholat shubuh tersebut pada saat ia tersadar atau terbangun dari tidurnya , walaupun waktu tersebut termasuk waktu-waktu yang terlarang melaksanakan sholat.
Karena pelarangan sholat pada waktu-waktu tersebut berlaku bagi sholat-sholat sunnah muthlak yang tidak ada sebabnya. Sedangkan bagi sholat yang memiliki sebab seperti halnya orang yang ketiduran atau kelupaan, diperbolehkan melaksanakan sholat tersebut pada waktu-waktu terlarang. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbit maka dia telah mendapatkan sholat tersebut .
Wallahu a’lam bish-shawabWassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc